Fakta Menarik tentang Stockholm Syndrome

LaskarQQ Lounge Fakta Menarik tentang Stockholm Syndrome Stockholm syndrome dapat membuat korban sandera justru menaruh simpati pada penculiknya. Fenomena ini pertama kali terjadi di Stockholm, Swedia.

5 Fakta Menarik tentang Stockholm Syndrome

Fakta Menarik tentang Stockholm Syndrome Stockholm syndrome adalah kondisi ketika korban sandera mengembangkan aliansi psikologis dengan penculiknya. Secara tak sadar, korban membentuk ikatan emosional dengan penculiknya dan menjadi simpati terhadap mereka. 

Ini membuat mereka jadi mendukung penculiknya, bahkan tidak melarikan diri ketika ada kesempatan. Mereka bahkan mungkin membela dan mencoba mencegah penculiknya menghadapi konsekuensi atau hukuman atas perbuatannya.

Fakta Seputar Stockholm Syndrome

Ada beberapa fakta seputar Stockholm syndrome yang menarik untuk kamu simak, yaitu:

1. Pertama Kali Terjadi di Stockholm, Swedia

Istilah “Stockholm syndrome” muncul untuk menggambarkan apa yang terjadi pada korban perampokan bank pada 1973 di Stockholm, Swedia. Kala itu, selama enam hari, para perampok bank mencoba menegosiasikan rencana dengan polisi, agar mereka bisa meninggalkan bank dengan aman.

Selama enam hari ini, sebagian besar karyawan bank yang menjadi sandera justru berubah simpatik terhadap para perampok. Bahkan setelah berhasil bebas, mereka menolak untuk meninggalkan penculiknya dan kemudian membela mereka. 

Kriminolog dan psikiater yang menyelidiki peristiwa ini menyebut kondisi mereka sebagai Stockholm syndrome. Karena karyawan bank yang jadi sandera telah mengembangkan semacam kasih sayang terhadap orang-orang yang menahan mereka.

2. Strategi Bertahan Hidup yang Delusif

Penyebab dari Stockholm syndrome tidak jelas. Namun, menurut studi pada 2015 di International Journal of Advanced Research, sindrom ini diduga merupakan strategi bertahan hidup yang delusif.

Ketika penyelidik FBI mewawancarai pramugari yang jadi korban sandera selama pembajakan pesawat, mereka menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang membuat sindrom ini berkembang, yaitu:

  • Situasi krisis harus berlangsung selama beberapa hari atau lebih lama.
  • Penyandera harus tetap berhubungan dekat dengan para korban, alias korban dan penyandera selalu ada di ruangan yang sama.
  • Para penyandera harus menunjukkan kebaikan kepada korban atau setidaknya menahan diri untuk tidak menyakiti mereka.

Para peneliti juga mengungkapkan bahwa sindrom ini dapat terkait dengan nenek moyang di masa lalu. Teori mereka adalah bahwa perempuan dalam masyarakat tersebut menghadapi ancaman penangkapan oleh suku lain. Nyawa mereka sering terancam, dan terkadang anak-anak mereka terbunuh. 

Akhirnya, mereka mengembangkan ikatan dengan suku yang menahan mereka, agar bisa bertahan hidup. Hal ini kemungkinan terjadi pada orang yang mengalami Stockholm syndrome.

3. Gejalanya Mirip PTSD

Orang dengan Stockholm syndrome sering melaporkan gejala yang mirip dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD), seperti:

  • Mudah terkejut.
  • Ketidakpercayaan.
  • Perasaan tidak nyata.
  • Kilas balik.
  • Ketidakmampuan untuk menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan.
  • Mudah marah.
  • Sering mimpi buruk.
  • Sulit berkonsentrasi.

4. Bisa Terjadi antara Atlet dan Pelatih

Stockholm syndrome seringkali menggambarkan situasi penyanderaan atau penculikan. Namun, studi pada 2018 di jurnal Children Australia menunjukkan bahwa sindrom ini juga dapat terjadi dalam dunia olahraga. 

Para peneliti menemukan bahwa pelatih atletik yang kasar dapat membuat atlet muda mengembangkan sindrom ini. Atlet mungkin tahan dengan pelecehan emosional dan tunduk pada latihan yang menyiksa, karena keyakinan bahwa pelatih mereka menginginkan yang terbaik untuk mereka.

Mereka mungkin juga bersimpati dengan kerja keras dari pelatih mereka. Inilah yang membuat mereka akhirnya memaafkan perlakuan buruk pelatih dengan meyakinkan diri mereka sendiri, bahwa pelecehan itu adalah bentuk pelatihan yang baik.

5. Penanganannya Mirip Terapi untuk PTSD

Penanganan untuk Stockholm syndrome seringkali berupa konseling atau perawatan psikologis untuk PTSD. Terutama untuk pengobatan jangka pendek. Ini dapat membantu meringankan masalah terkait kecemasan dan depresi.

Untuk jangka panjang, psikoterapi dapat membantu  pemulihan. Psikolog dan psikoterapis dapat mengajari mekanisme koping yang sehat. Selain itu juga membantu memahami apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan bagaimana dapat bergerak maju. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *